BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara mendasar manusia memiliki 3 (tiga) peranan penting, yaitu sebagai makhluk psikis, makhluk sosial dan makhluk ekonomi. Sebagai makhluk psikis, secara kodrati - manusia terdiri dari unsur materi dan immateri. Dalam menjalankan fungsinya, manusia dipengaruhi unsur materi atau imbalan (rewards), dilengkapi pula dengan unsur immateri yang berupa rasa bangga, kepuasan, harga diri, prestasi, prestise dan lain sebagainya dalam pemenuhan kebutuhan rohani dan sosialnya. Sebagai makhluk sosial, ada kebutuhan materi serta kebutuhan rohani. Dari segi rohani, pemenuhan kebutuhan ini melalui komunikasi dan interaksi dengan sesama manusia, dengan lingkungan hidup disekitarnya (makhluk hidup bukan manusia) dan yang terutama dengan Penciptanya.
Dalam pemenuhan kebutuhan materi, manusia kemudian mempunyai peran sebagai makhluk ekonomi. Kebutuhan manusia yang mendasar dijabarkan menjadi 3 (tiga) hal yaitu: Sandang, Pangan, dan Papan. Oleh karena itu manusia yang diciptakan lengkap dengan akal dan pikiran kemudian memenuhi 3 (tiga) kebutuhan utamanya dengan berusaha atau bekerja dengan tujuan menghasilkan insentif berupa upah atau gaji.
Banyak individu yang memilih mendayagunakan akal dan pikirannya menjadi karyawan suatu perusahaan. Tapi tak sedikit pula yang berinisiatif menciptakan suatu usaha atau bisnis untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Bisnis adalah suatu kegiatan manusia yang bertujuan menghasilkan materi berupa keuntungan atau laba. Setiap pelaku usaha atau bisnis tentunya mempuyai harapan agar bisnisnya dapat berkembang, dan biasanya berorientasi pada pertumbuhan serta bersifat ekonomi-sentris.
Harapan pelaku bisnis yang serupa tersebut, akhirnya menimbulkan persaingan bisnis. Ketatnya persaingan bisnis seringkali menimbulkan tindakan-tindakan curang dan tak jarang merugikan konsumennya sendiri hanya demi meraup keuntungan ekonomi yang
sebesar-besarnya dalam waktu singkat. Apabila persaingan ini tidak diatur oleh hukum, maka mayoritas yang terkena imbas negatifnya tak lain dan tak bukan adalah konsumen itu sendiri. Oleh sebab itu regulasi-regulasi hukum perlu dimunculkan untuk mengatur perkembangan suatu usaha atau bisnis supaya tercipta hubungan yang harmonis antar sesama pelaku bisnis, pelaku bisnis dengan pemerintah serta yang utama adalah pelaku bisnis dengan konsumennya sendiri.
Selain regulasi-regulasi hukum, juga muncul suatu aturan tidak baku yang disebut etika bisnis, sifatnya bahkan lebih luas dari ketentuan yang diatur hukum, dan standarnya lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temui “wilayah abu-abu” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
1.2. Perumusan Masalah
Meskipun ada regulasi yang telah melindungi hak konsumen (consumer right) tapi tidak jarang, masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha karena semakin ketatnya persaingan usaha antar pelaku bisnis. Perumusan masalah untuk penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Apa definisi Etika Bisnis?
2. Bagaimanakah sejarah awal mula Etika Bisnis?
3. Dampak apakah yang mungkin terjadi bila pelaku usaha mengabaikan Etika Bisnis dalam menjalankan usahanya?
4. Bagaimanakah menciptakan solusi yang tepat untuk mengatasi dampak yang mungkin timbul ketika mengabaikan Etika Bisnis?
1.3. Tujuan Penulisan
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum. Maka untuk kepentingan tersebut telah ditentukan tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi Etika Bisnis.
2. Untuk mengetahui sejarah awal Etika Bisnis.
3. Untuk mengetahui dampak yang mungkin terjadi bila pelaku usaha mengabaikan Etika Bisnis dalam menjalankan usahanya.
4. Untuk dapat menciptakan solusi yang tepat untuk mengatasi dampak yang mungkin timbul ketika mengabaikan Etika Bisnis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Landasan Teori
Dalam ilmu ekonomi, bisnis diartikan sebagai suatu organisasi yang menjual barang atau jasa konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis berasal dari bahasa inggris “business”, yaitu mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti “ciri yang membedakan, semangat, moralitas atau keyakinan – keyakinan yang dimiliki seseorang, atau komunitas atau institusi”.
Pengertian Etika Bisnis menurut Business & Society – Ethics and Stakeholder Management (Caroll & Buchholtz):
Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice and equity.
Etika bisnis mempunyai beragam definisi tapi punya 1 (satu) pengertian yang sama, yaitu pengetahuan tenatang tata cara ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal dan secara ekonomi atau sosial, dan penerapan norma dan moralitas ini menunjang maksud dan kegiatan bisnis (Muslich, 1998:4). Ada juga yang mendefinisikan etika bisnis sebagai batasan-batasan sosial, ekonomi, dan hukum yang bersumber dari nilai moral masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan oleh perusahaan dalam setiap aktifitasnya (Amirullah & Imam Hardjanto, 2005).
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum. Etika bisnis pun mempunyai sejarah sebelum dikenal luas dan diimplementasikan pada masa sekarang ini, menurut Bartens (2000) perkembangan etika bisnis dari masa ke masa adalah sebagai berikut:
1. Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat: Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelediki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
2. Masa Peralihan (Tahun 1960-an)
Ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat, revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap kemapanan. Hal ini memberi perhatian dunia pendidikan khususnya manajemen, dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang sering dibahasa adalah Corporate Social Responsibiliy.
3. Kelahiran Etika Bisnis di Amerika Serikat (Tahun 1970-an).
Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis disekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat.
4. Etika Bisnis meluas di Eropa (Tahun 1980-an).
Di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).
5. Etika Bisnis menjadi Fenomena Global (Tahun 1990-an).
Tidak terbatas lagi pada dunia barat. Etika Bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.
Sebuah perusahaan property ternama di Yogyakarta tidak memberikan surat ijin membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya. Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah, karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah, sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal.
Melihat kasus diatas, perusahaan property tersebut menegemukakan alasan yang terasa tidak etis karena terkesan bersifat personal. Tindakan kurang etis yang dilakukan oleh suatu perusahaan property tersebut akan menimbulkan dampak yang buruk dan bahkan memancing tindakan balasan dari konsumen yang kecewa dan sifatnya bisa sangat kontra produktif, misalnya melalui:
1. Bad Mouth
Kekecewaan 2 konsumen yang tidak segera diatasi tersebut dapat disebarkan melalui media komunikasi baik melalui media cetak atau media sosial seperti Facebook dan Twitter yang akan sulit sekali dikontrol begitu sudah tersebar.
2. Citra perusahaan menjadi negatif
Meskipun tidak mustahil melakukan tindakan-tindakan untuk memulihkan citra perusahaan menjadi postif kembali tetapi akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit.
3. Tuntutan Hukum
Apabila perusahaan diputuskan bersalah, maka sanksi hukum bisa berakibat dicabutnya izin usaha perusahaan property tersebut yang dampaknya lebih luas dan kompleks.
2.2. Langkah-Langkah Untuk Mengantisipasi Terjadinya Masalah
Kasus pelanggaran diatas merupakan kasus pelanggaran etika bisnis, imbas negative berupa krisis akan kembali lagi ke perusahaan property itu sendiri. Tentu sangat tidak etis perusahaan property tersebut mengemukakan bahwa perusahaannya telah sengaja memberi pelajaran pada 2 (dua) orang konsumennya hanya karena mereka telah menghasut 30 konsumen lainnya menuntut surat izin pembangunan rumah. Sangat lumrah bila konsumen perusahaan property tersebut menuntut haknya setelah mereka memenuhi kewajibannya berupa pembayaran harga tanah serta biaya administrasi lainnya. Sedangkan untuk konsumen kedua, tentunya perusahaan tidak boleh mempersulit konsumennya dengan terus menunda-nunda saat konsumen tersebut ingin melunasi kewajibannya.
Kondisi seperti ini tentunya berimbas terutama pada menurunnya citra baik perusahaan karena konsumen kehilangan kepercayaan (trust) yang berimbas pada turunnya penjualan. Dalam bidang pemasaran, ada strategi yang dikenal dengan sebutan “Bauran Pemasaran” atau “Marketing Mix”. Strategi ini fokusnya adalah kepuasan konsumen. Pasar yang baik menurut strategi ini harus mencakup “4P” yaitu: Product, Price, Promotion, dan Place.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:
1. Pengendalian diri.
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (Social Responsibility).
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah terpengaruh imbas negative pesatnya perkembangan informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”.
6. Menghindari 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi).
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antar golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang disepakati.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang disepakati.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan.
Meskipun Etika digunakan untuk mengatur kehidupan manusia, akan tetapi layaknya produk ciptaan manusia yang tidak sempurna, etika pun mempunyai masalah. Dijelaskan dibawah ini 3 jenis masalah yang dihadapi etika yaitu:
1. Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis, pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang dalam perusahan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan individual sebagai keseluruhan.
3. Individu
Munculnya pertanyaan yang muncul seputar individu tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas keputusan, tindakan dan karakter individual.
Saat terjadi krisis, pelaku bisnis harus tanggap dengan melakukan strategi “crisis management”. Tak seperti dulu dimana akses informasi hanya melalui media massa, saat itu, power media sangat kuat. Media menjadi akses satu-satunya untuk membentuk opini, menyebarkan berita dan mempengaruhi publik. Komunikasi berlangsung 2 arah (timbal balik) antara perusahaan dengan publik, tapi melalui perantara media. Sehingga akses menjadi tidak langsung, berlangsung lebih lama, dan banyak noise komunikasi yang terjadi.
Berbanding terbalik di era globalisasi ini merupakan era online social media seperti Facebook, Twitter, Blog, Milis dan lain sebagainya. Laju informasi terus up-to-date dari berbagai penjuru dunia setiap detiknya dan social media tidak pilih-pilih dalam menampilkan informasi – positif maupun negatif akan ditampilkan apa adanya sesuai yang dituliskan oleh penulisnya. Arus informasi inilah yang paling sulit dikontrol penyebarannya saat suatu isu bernada negative menyerang image suatu perusahaan.
Untuk mengantisipasi dampak negative tersebut, maka perusahaan harus menentukan program-program dalam strategi “crisis management” yang tepat, cepat namun harus tetap berhati-hati saat mengimplementasikannya. Tahapan “crisis management” dijabarkan berikut dibawah ini:
1. Cross Check kasus yang terjadi secara detail dan obyektif.
Ketika menghadapi crisis management yang menyangkut citra perusahaan, perusahaan harus benar-benar mengerti duduk permasalahannya seperti apa. Segera meminta maaf pada konsumen yang merasa dirugikan tanpa perlu menilai siapa yang harus disalahkan dan menyalahkan, serta segera memenuhi hak konsumen yang telah menyelesaikan kewajibannya (menyerahkan izin pembangunan rumah).
2. Manajemen internal communication yang baik dan lancar.
Intinya, mendapat dukungan dari orang dalam untuk memperkuat perusahaan. Dengan tahap ini, diharapkan karyawan mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan langkah-langkah utama yang akan diambil oleh perusahaan. Dan jangan lupa, menyisipkan kata-kata encouragement kalau perusahaan tidak akan bisa survive tanpa dukungan internal.
3. Engagement atau Lobbying dengan kalangan eksternal perusahaan.
Kalangan eksternal perusahaan termasuk media massa. Seberapa kompaknya hubungan perusahaan dengan wartawan dalam meramu berita buruk tidak selalu buruk tapi berimbang, merupakan hal-hal yang diuji di tahap ini. Selain itu, dalam persiapan data untuk menjawab pertanyaan wartawan juga tidak kalah penting. Unsur cepat, tepat dan akurat dalam menghadapi wartawan harus menjadi perhatian utama. Pastikan segala press conference, interview, atau press release memiliki pesan utama yang sama, tidak simpang siur dan asal-asalan. Pastikan itikad baik menjadi kompor utama dalam mengemas pesan.
4. Reactive action progress.
Terus menerus dikomunikasikan secara kontinyu baik kedalam maupun keluar merupakan bagian yang harus dipelihara. Hal ini termasuk recovery terhadap krisis. Melakukan recovery publication juga bisa dengan berbagai cara. Bisa dengan melakukan roadshow event, promosi di media massa, program istimewa di televisi, atau lewat kecanggihan teknologi web 2.0 yang bisa memunculkan sharing effort. Setidaknya dengan tahap ini, setiap publik dapat mengetahui bahwa itikad baik perusahaan benar-benar dilaksanakan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN – SARAN
3.1. Kesimpulan
Kegiatan bisnis memang merupakan aktivitas yang ditujuan untuk menghasilkan laba, maka tak ada salahnya bila seorang pelaku bisnis mengharapkan keuntungan saat menjalankan usahanya, tetapi tetap menyadari untuk mampu mengontrol dirinya sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi. Dengan kata lain, etika bisnis untuk mengontrol bisnis agar tidak tamak. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah perlu memberlakukan regulasi-regulasi hukum untuk mengatur semakin ketatnya persaingan bisnis, tujuannya untuk menjaga keharmonisan hubungan antar pelaku bisnis dan untuk melindungi hak konsumen.
2. Berkaca dari contoh kasus diatas, kita dapat melihat etika dan bisnis sebagai 2 (dua) hal yang berbeda. Memang, beretika dalam berbisnis tidan\k akan memberikan keuntungan segera, karena itu pelaku bisnis harus belajar untuk melihat prospek jangka panjang.
3. Kemajuan teknologi informasi khususnya internet telah menambah kompleksitas kegiatan public relation dan crisis management perusahaan.
4. Sanksi hukuman di Indonesia masih lemah bila dibandingkan dengan sanksi hukuman di negara-negara maju.
3.2. Saran – Saran
Di era globalisasi ini setiap perusahaan berlomba-lomba meraih keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu singkat, tak jarang suatu usaha yang memang dibutuhkan dan terus dicari konsumen menjadi terlena yang akhirnya melakukan tindaklan yang merugikan konsumennya. Hal seperti ini tentunya mempengaruhi cintra baik perusahaan yang telah sekian lama dibangun menjadi buruk dalam waktu yang singkat saja. Ada perusahaan yang sadar diri dan segera berbenah memperbaiki citra perusahaan dengan menarik kembali simpati dan kepercayaan dengan komitmen dan jaminan kepuasan konsumennya, tapi tak sedikit pula perusahaan yang menjadi “angkuh” dengan menganggap sepele 1 komplain ketidakpuasan konsumennya dan terlalu percaya diri akan ada konsumen lain yang akan membeli produk atau jasa perusahannya. Oleh karena itu Etika Bisnis sangat penting dilaksanakan karena:
1. Secara berkala pemerintah perlu memperbarui regulasi-regulasi hukum yang mengatur masalah persaingan bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman, serta melaksanakan sanksi yang tegas bagi yang melanggar.
2. Pemerintah melalui Departemen Perdagangan dapat memfasilitasi sarana komunikasi 2 (dua) arah dimana pelaku usaha maupun konsumen dapat menyampaikan laporan bila ada suatu perusahaan yang diduga melanggar etika bisnis.
3. Pelaku bisnis hendaknya mempertahankan sikap professional serta proaktif saat menghadapi complain yang disampaikan konsumennya, semata-mata demi tercapainya kepuasan konsumen.
4. Pelaku bisnis hendaknya dapat memformulasikan serta mengimplementasikan kode etik perusahaan yang sifatnya menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen.
5. Pelaku bisnis dapat melakukan kegiatan-kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) untuk dapat memberikan cerminan bagi public, bahwa perusahaannya tidak bersifat ekonomi-sentris belaka tetapi juga peduli terhadap kesejahteraan lingkungan sekitarnya.
Daftar Pustaka
Yarmanto, SE, MM. Etika Bisnis 2. Stipram Yogyakarta: Materi Kuliah Hotel Profession Ethics.
Anita Achmad (100197)
S1 Hospitality/ Semester 7
STIPRAM YOGYAKARTA
No comments:
Post a Comment